Translate

Selasa, 27 Agustus 2013

Painkiller

Author               : Eka Purnama Harahap @EPH0918  NuNa Ekaa Harahap 

Title               : Painkiller

Cast               : Park Jiyeon & Yoo Seung Ho

Genre            : Sad Romance, Fantasy, Illusion

Rate               : PG 13






Cerita kali ini terinspirasi dari Painkiller MV. Tapi jalan cerita dan ide cerita murni imajinasi penulis. Kalau ada salah kata dan cerita yang tidak menyenangkan mohon di maafkan. Jangan lupa tinggalkan jejak. Menulis itu hal yang sangat menyenangkan, namun akan lebih menyenangkan jika imajinasi sang penulis dihargai. Happy reading ^^  
  

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sarangeun mosdoen gieogiya 
Sarangeun dachin chueogiya 
Eonjejjeum gwaenchanha jiryeona 
Haeneun eonje dasi tteuryeona 
Wonrae ibyeori da ireohge 
Sarangeun apaya sarangiya.. 

Seorang gadis melangkah menelusuri sebuah jalan. Dimana jalan tersebut hanya terlihat cahaya putih yang menyilaukan mata. Park Jiyeon, gadis berambut panjang itu terus melangkah meski sinar cahaya itu menyilaukan matanya. Ia begitu terkejut. Setelah berhasil melewatinya, ia seperti berada di tempat yang sangat tidak asing baginya. Jiyeon kebingungan dengan hal itu. Semua tempat yang ia lihat selalu berlatarkan cahaya putih. Disebuah kamar apartemen, Jiyeon menapaki selangkah demi selangkah. Anehnya mengapa semua benda - benda di tempat itu tertutup oleh kain putih, pikirnya. 

“Tempat ini..” Gumamnya.  


Ia pun membuka semua kain yang menutupi kamar apartemen mereka. Ya, kamar apartemen tempat dimana ia tinggal bersama seseorang yang sangat berarti untuknya. Painkiller, itulah sebutan seseorang yang telah menemaninya selama ini. Dimensi yang nyata dengan ruang waktu yang berbeda. Jiyeon berpikir yang ia alami hanyalah sebuah halusinasi. Halusinasi yang tidak masuk akal dalam pemikiran seorang manusia. 

“Aku merindukanmu..” 

Tanpa sadar ia mengucapkan kalimat yang tidak seharusnya ia ucapkan. Sebab kalimat itu hanya boleh diucapkan oleh seseorang yang sedang terpisah jarak dan waktu. Sedangkan dirinya.. Jiyeon pun masih belum mengerti mengapa tempat tersebut terlihat begitu usang akan tetapi dengan kondisi yang masih bersih dan hangat. 

TES ! 

Air mata terjatuh. Gadis itu sekekita menangis saat harus menarik satu per satu kain putih yang menutupi sofa dan segala macam peralatan disana. 

“Sakit..” Gumamnya lagi. 

Ia menekan bagian dadanya yang terasa sakit. Bahkan lebih dari itu, ia merasakan sesuatu sedang menyayat - nyayat bagian hatinya. Perih. Wajah pucat dengan mata sayu, Jiyeon mengitari seluruh sudut ruangan. Perlahan tapi pasti ia terus melangkah, lemah. 
  
“Jiyeon-ah.. Kau lihat ini? Cocok untukku bukan?” 

Ia terngiang sebuah kalimat saat dirinya kembali melihat ke dalam lemari. Pakaian itu.. Sweater yang ia belikan untuk seseorang dengan julukan Painkiller. Seseorang yang sangat menyukai model dari sweater tersebut.  

“Seung Ho-yah..” 

Sebuah nama akhirnya terucap. Nama itu, nama kekasih yang sangat ia cintai. Hingga akhir hidupnya, Jiyeon berjanji akan terus mencintai pria bernama Seung Ho tersebut. Ada apa pikirnya. Mengapa dimensi itu membuatnya sangat sakit. Dimensi yang sama sekali tak menampakkan wujud kekasihnya. Dimensi yang terus menerus menyayat perasaannya. Air mengalir lagi di ujung sudut matanya yang indah. Jiyeon terpungkur didepan lemari itu. 

“Seung Ho-yah.. Ada apa ini?” 

*** 

Sinar di ufuk timur mulai menampakkan sinar keemasan. Sinar tersebut masuk dan menyinari kamar apartemennya dari celah - celah jendela. Tidak ingat apa yang terjadi, Jiyeon terbangun dari tidurnya. Ia tertidur diatas lantai yang dingin sambil mendekap sweater berwarna biru gelap, milik Seung Ho. 

“Aku terlelap diatas lantai yang dingin? Ini sungguh aneh.” Pikirnya. 

Tetesan air dibalik kamar mandi membuat Jiyeon segera berlari menghampirinya. Mungkinkah.. 

“Yoo Seung Ho.. Apa kau didalam?” Sekali dua kali tak kunjung ada jawaban. 

Akhirnya Jiyeon membuka pintu itu dengan hati - hati. Air mata kembali menetes. Ia tidak melihat siapa pun disana. Suara tetesan air itu hanya bersumber dari washtafel yang longgar. 

“Ada apa sebenarnya? Mengapa kau tidak ada? Dimana aku sebenarnya?” 

Gadis itu terlihat sangat frustasi. Ia merajuk seperti orang tidak waras. Menghempaskan segala yang ada di meja wastafel tersebut. 

“Aku bodoh. Apa aku gila?” 

Jiyeon memandang lekat bayangannya yang ada didalam kaca. Wajahnya.. Sungguh terlihat menyedihkan. Bahkan ia lebih pantas disebut sebagai mayat hidup. Ia terus memandang bayangannya. Tiba - tiba.. 

“Hey.. Kau jorok!” Seru gadis itu, manja. 
“Biar saja.” 
“Cepat cuci wajahmu.” 
“Tidak. Aku tidak ingin.”  

Bayangan seorang gadis dan pria yang sedang bermesraan lagi - lagi membuat Jiyeon seperti orang tidak waras. Pria itu mendekap gadisnya dari belakang dan terus membuat si gadis terkekeh geli. Ya. Itu.. Bayangan itu adalah bayangan dirinya dan kekasihnya dulu. Sebenarnya ada apa dengan sekarang. Mengapa semua masa lalu terus mengiang dalam benaknya. Jiyeon terjatuh dan menopang tubuhnya dengan kedua tangannya. 

“Apa yang terjadi. Mengapa semua menyesakkan dadaku.” 

Jiyeon pun berlari dari tempat itu. Ia kembali ke kamarnya. Setelahnya ia menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Isak tangis terdengar memilukan. Sangat memilukan. Jiyeon terisak sambil membungkam mulutnya dengan tangan. Ada yang tak bisa ia baca dari situasi itu. Secara rasional, semuanya tidak bisa ia baca secara rasional. 

“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!” Pekik Jiyeon memecahkan keheningan di pagi hari. 

TING TONG TING TONG 

Bel berbunyi nyaring. Entah siapa yang berusaha bertamunya di pagi yang masih lengah itu. Dengan malas Jiyeon bangkit dari ranjangnya untuk membunuh rasa penasarannya. Kaki jenjangnya pun melangkah dengan sangat indah. 

*** 

Dentingan suara 'tik tok tik tok' menghiasi heningnya pagi di ruangan tersebut. Sejak tadi, seorang gadis bermata sayu hanya duduk memandang kosong kotak diatas meja yang baru ia terima dari seorang petugas pos. 

-Flashback- 

“Selamat pagi, Agassi (Nona). Apa benar anda Park Jiyeon-Ssi?” Tanya pria bertopi hitam dihadapannya. 
“Oh. Ya..” Jawab seorang gadis seperlunya. 
“Kau mendapat kiriman paket. Tolong tanda tangan disini.” 

Pria itu menunjuk kertas tanda terima yang ia lampirkan diatas kotak tersebut. Jiyeon pun bergegas menandatanginanya lalu mengambil kotaknya. 

“Baiklah, Agassi. Terima kasih.” 

Petugas itu pun berlalu menyisakaan kebingungan dibenak Jiyeon. Entah mengapa ia tidak dapat mengeluarkan suaranya untuk bertanya siapa pengirim dari kotak tersebut. Tenggorokannya terlalu berat. Hatinya masih begitu sesak. 

-Flasback End- 

Karena begitu sakitnya. Jiyeon tiba - tiba terisak kembali. Hal aneh yang menimpanya sungguh membuatnya sakit. Begitu sakit. Ia menekan dadanya lalu menangis tersendu - sendu. Kini dentingan jarum jam tidak lagi terdengar jelas. Dentingan itu berubah menjadi isak tangis yang memilukan. Sangat sangat memilukan. 
  
10 menit kemudian.. 

Emosinya mulai stabil, tangis yang membuncah dapat ia kendalikan dengan cepat. Akhirnya, ia mencoba untuk membuka kotak tersebut. Tangannya bergetar taatkala akan membuka penutup kotak tersebut. Kotak pun terbuka, ia sangat tercengang begitu melihat isi kotak. Ekspresinya datar, namun tangannya meraih beberapa benda yang terdapat disana. 

“Jam waker?”Gumamnya. 

Jam waker vintage kecil membuatnya bingung. Namun yang lebih membingungkan dengan apa yang ia raih setelahnya. 

“Obat? Obat apa ini?” 

Ia memutar balikkan botol kecil obat tersebut. Sepertinya itu adalah obat penghilang rasa sakit. Sejenis obat yang bisa meredam kegelisahan dan halusinasi seseorang. 

“Apa maksud semua ini.” 

 Jiyeon melempar pelan botol obat tersebut. Lalu meraih secarik kertas yang terselip didalam kotak itu. 

Dear you.. My girl.. 

Gunakan jam waker itu untuk membangunkanmu. Aku tahu kau selalu sulit bangun pagi bukan? Dan.. Obat itu.. Jika kau sakit, gunakan itu sebagai painkiller-mu. 

Maafkan aku.. Your Painkiller, Yoo Seung Ho. 

Deg. Ada yang salah. Semua itu seperti ada yang salah. Kalimat itu, seperti kalimat perpisahan. Air mata kembali mengalir diwajahnya. Kali ini Jiyeon merasakan sakit yang luar biasa menerpa seluruh tubuhnya. Bagai racun yang menggerogoti tubuhnya. Jiyeon tidak lagi dapat menahan sakit yang bertubi - tubi. 

Masih teringat jelas, pesan di surat itu. Jiyeon mengambil botol obat yang sebelumnya ia caci. Tidak peduli seberapa besar dosisnya. Ia tetap mengambil obat itu dan meneguknya hampir sebagian. Rasa sakit itu pun perlahan - lahan mulai menghilang. Jiyeon membaringkan tubuhnya disofa itu sambil mendekap surat yang hampir membuatnya mati karena menahan sesak. 

“Seung Ho-yah.. Mengapa? Dimana kau sebenarnya? Apa yang terjadi? Hiks hiks.” 

*** 

Hari demi hari selalu sama. Terkadang menangis dan terkadang pula tersenyum. Bahkan sakit bertubi - tubi menikamnya. Hingga ia tak bisa lepas dari obat yang diterimanya beberapa hari lalu. Pagi ini wajahnya sedang berusaha menyaingi cerahnya mentari. Jiyeon tersenyum saat menyiapkan beberapa hidangan kesukaan Seung Ho. Dimensi yang masih belum bisa ditebak Jiyeon dengan akal rasional. Namun ia berusaha tetap menikmati hal itu. Sesakit apapun, ia berusaha untuk menyesuaikan diri dengan dimensi yang mungkin telah memisahkan dirinya dan Seung Ho. 

“Bagaimana? Apa rasanya lezat?” 
“Oh.. Tentu. Kau sangat pandai memasak, aku bangga padamu.” 

Jiyeon lagi - lagi melihat bayangan sepasang kekasih sedang bermesraan. Bayangan itu jelas adalah dirinya dan juga Seung Ho. Pria itu mengusap pucuk kepala gadis disebrangnya. Pujian selalu terlontar tanpa ragu dari bibir si pria. Gadis itu terlihat sangat bahagia. Kebahagian itu terpancar dari guratan senyum yang selalu menghiasi wajahnya. 

“Aku mencintaimu, Jiyeon-ah..” 

Pria itu bangkit dan mendongakkan wajah si gadis untuk mendekat ke wajahnya. 

Chu~ 

Kecupan hangat mendarat di bibir sang gadis. Lama dan menyisakan aroma masakan yang sebelumnya disantap si pria. 

Jiyeon bangkit dan berbalik. Bayangan itu sungguh membuatnya semakin gila karena merindukan Seung Ho. Ya, Jiyeon begitu menginginkan Seung Ho untuk mendekapnya dan menghilangkan rasa sakit di tubuhnya. 

“Cukup! Hentikan!” Pekik Jiyeon. 

Dengan tidak sabaran, ia mencari botol obat itu. Obat untuk menghilangkan rasa sakitnya. Setelah meneguk beberapa butir tablet, Jiyeon pun mulai merasa lebih tenang. 

“Hiks.. Hiks..” 

Suara isak tangis terdengar kembali. Jiyeon merasa dirinya memang sudah gila. Gila karena tidak tahu apa yang ia alami sebenarnya. Tangis yang menjadi - jadi membuat gadis itu tersedak. Dan betapa terkejut dirinya saat darah pekat keluar dari mulutnya. Melihat hal itu. Jiyeon hanya bisa menangis lalu setelahnya tertawa seperti layaknya orang tidak waras. 

*** 

Seorang pasien terbangun dari tidur panjangnya. Mencoba mengadaptasikan bola matanya dengan sorot lampu disana. Langit - langit putih adalah hal yang pertama ia lihat. Tubuhnya masih sangat sulit untuk digerakkan. Mengingat pasien tersebut koma selama hampir satu bulan. Sendi - sendi tulangnya menegang karena tidak melakukan aktivitas apapun. 

Suara mesin pendeteksi jantung terdengar bekerja secara kontinu. Selang infus memberatkan punggung tanggannya. Serta masker oksigen dan selang makanan yang masuk kedalam tenggorokan membuat pasien tersebut mengeluh. Park Jiyeon, nama pasien yang tertulis diranjang itu. Gadis berambut pirang panjang. Serta memiliki bola mata yang indah 

“Ada apa denganku? Dimana ini?” 

Gadis itu menggeser kedua matanya mengelilingi sudut ruangan. Leher yang ter-gips, masih menyulitkannya untuk menoleh. 

“Aku harus pergi..” 

Air mengalir dari sudut mata kanannya. Ia merasakan perih yang pernah dialami sebelumnya. Perih terbawa hingga ke dunianya yang nyata. Seperti mendapat kekuatan, Jiyeon melepas semua yang menempel di tubuhnya. Selang infus, masker oksigen, serta selang yang memberinya makanan selama ia dalam masa koma. Ia bangkit dan bergegas mengganti pakaian agar tidak dikenali sebagai seorang pasien. 

5 menit kemudian.. 

Long skirt putih dengan sweater berwarna peach memperlihatkan betapa tirusnya si pemakai pakaian tersebut. Tubuhnya sangat lemah. Terlihat dari bagaimana caranya berjalan. Sebelum keluar dari kamar vvip-nya. Jiyeon melihat bayangan dirinya begitu menyedihkan dari kaca. Ia mengusap lemah wajah pucatnya dan merapikan rambut panjang yang tidak terurus selama sebulan. 

“Siapa kau? Mengapa kau begitu menyedihkan?” Cela dirinya sendiri dalam hati. 

Setelah itu ia mengendap keluar dari sana. Jiyeon berjalan dengan normal agar tidak menimbulkan kecurigaan pada petugas rumah sakit disana. Meski tak sedikit petugas yang meliriknya aneh. Namun Jiyeon terus berjalan hingga berhasil melewati lobi. 

“Sudah lama rasanya aku tidak merasakan udara luar.” 

Angin menyapu wajahnya dengan lembut. Ia berjalan menapaki jalan dibawah pohon yang rindang. Ia berjalan menuju tempat dimana seseorang pasti menunggunya. Seseorang yang ia rindukan, Yoo Seung Ho. Selemah apapun gadis itu, jika tujuannya untuk menemukan pria yang dirindukannya tentu bukanlah sebuah masalah. Jarak yang tidak terlalu jauh, melukiskan segores senyum di bibirnya. Senyum yang tidak bisa ia sembunyikan. 

“Walau aku tidak yakin, kau pasti menungguku bukan?” Bathinnya dan membuat senyumnya semakin merekah. 

Tak terasa langkahnya begitu cepat membawa ia ke tempat tujuan. Berdiri didepan pintu kamar apartemen itu sungguh membuat jantunga berdegup kencang. Tidak sabar untuk segera bertemu dengan seseorang yang ia sebut sebagai Painkiller. 

*** 

Cklek~ 

Jiyeon masuk kedalam ruangan itu. Ruangan yang pernah ada dalam dimensi lain dirinya. Dimana ia tidak dapat menemukan kekasih hatinya. Ia menelusuri setiap sudut ruangan yang masih bersih. Bahkan tata ruangan tidak ada yang berubah. Ia berjalan meraba dinding dengan sebelah tangannya. Sesekali senyum mengembang disudut bibirnya. Namun senyum itu menyurut saat ia melihat kotak diatas meja ruangan tersebut. 

“Apa ini?” 

Dear you.. My girl.. 

Gunakan jam waker itu untuk membangunkanmu. Aku tahu kau selalu sulit bangun pagi bukan? Dan.. Obat itu.. Jika kau sakit, gunakan itu sebagai painkiller-mu. 

Maafkan aku.. Your Painkiller, Yoo Seung Ho. 

Jiyeon terhuyung. Ia teringat isi surat itu. Surat yang ada dalam kotak. Persis seperti yang ia lihat saat ini. Seakan tak ingin percaya, Jiyeon menghempaskan benda - benda itu dari atas meja. Senyum yang menghiasinya tadi seperti tertiup angin. Hilang begitu saja dan berganti dengan sebuah kecemasan. 

“Akh.” 

Gadis itu merasa seperti ada yang menarik hatinya. Sakit hingga tak tertahankan. Senyuman berganti air mata. Jiyeon tergesa mencari Seung Ho. Ia tidak ingin apa yang ia alami di dimensi itu berubah menjadi nyata. 

“Seung Ho-yah!!” Seru Jiyeon ketika melihat seseorang tengah tersenyum. 

Jiyeon berhambur pada seorang pria yang membuka kedua tangannya lebar dengan isyarat menyambut gadis itu. 

“Jangan pergi! Kumohon jangan tinggalkan aku!” Pinta Jiyeon, lirih. 

Jiyeon menarik tengkuk pria itu erat dan membenamkan wajahnya di bahu seseorang yang dirindukannya selama ini. 

“Hey.. Apa yang kau bicarakan? Aku tidak berniat untuk pergi.” Ujar Seungho, terkekeh. 

Seung Ho menepuk - nepuk punggung gadis itu pelan. Ia tersenyum bahagia. 

“Kau sudah makan?” Tanya pria itu. 

Dirasakan gadis itu menggeleng. Ia pun menarik Jiyeon untuk menjauh. Memandang intens kedua manik matanya. Mata seorang gadis yang masih ia cintai dan selamanya ia cintai. Senyum yang menggores bibirnya, membuat gadis dihadapannya begitu tenang. Terlihat lebih tenang dibandingkan saat melihat kotak dimeja tadi. 

“Ayo kita makan! Aku sudah menyiapkannya untukmu.” 

Seung Ho menyelipkan lengan gadis itu dilengannya. Dengan manja Jiyeon pun menyandarkan kepalanya dibahu pria itu. Pria yang kini sedang menuntunnya menuju meja makan. 

“Kau mempersiapkannya sendiri? Kau sudah tahu aku akan kembali? Eung?” 

Layaknya sedang mengintrogasi, Jiyeon memandang pria yang sudah duduk diseberang meja makannya. Seung Ho hanya tersenyum. Ada yang asing saat itu. Jiyeon merasa Seung Ho lebih diam dan tidak banyak bicara. Ia merasakan keganjalan. Namun ia tidak tahu apa yang mengganjal sebenarnya. 

“Ini.. Makanlah..” 

Tanpa aba - aba sumpit mendarat dimulut seorang gadis disana. Kebahagiaan jelas tidak lagi dapat ditutupinya. Jiyeon sangat bahagia bertemu dengan kekasih yang sangat dicintainya dan memperlakukannya dengan hangat. 

“Bagaimana? Apa rasanya lezat?” Tanya Seungho. 

Jiyeon pun mengangguk. 

“Aku mencintaimu, Jiyeon-ah..” 

 Pria itu bangkit dan mendongakkan wajah si gadis untuk mendekat ke wajahnya. 

Chu~ 

Kecupan hangat mendarat di bibir sang gadis. Lama dan menyisakan aroma masakan yang sebelumnya disantap si pria. 

Jiyeon terbelalak. Ia merasakan sebuah kesamaan. Situasi yang sama ketika ia berada di dimensi lain. Ia pun bangkit dan merusak meja makan kecil itu. Sendok dan garpu berjatuhan hingga membuat pria dihadapannya tidak mengerti. 

“Hey! Jiyeon-ah.. Ada apa?” 

Dengan segera pria itu memposisikan dirinya disamping Jiyeon. Mendekap gadis yang terlihat kebingungan itu dari samping. Jiyeon terlihat seperti orang aneh yang ketakutan. Tangannya bergetar bersamaan dengan bibirnya. Sedangkan pandangannya kosong namun menaburkan air mata diwajahnya. 

“Hey Hey!! Ada apa, eung?” 

Jiyeon menoleh. Memandang pria itu dari samping. Menatapnya lekat dan menggenggam lengannya erat. 

“Hajima (Jangan)!” 

Gadis itu menggeleng - gelengkan kepalannya. Seung Ho semakin tidak mengerti. Ia hanya tertawa kecil. Entah apa yang ditertawakannya.. 

“Jangan untuk apa, sayang?” 

Seung Ho menghadapkan Jiyeon sejajar didepannya. Menekan pundaknya pelan dan memandang wajahnya lembut. Didetik yang bersamaan, Seung Ho dengan cepat mengapus air mata yang membasahi ruang wajah cantik kekasihnya. 

“Jangan mengangis, eumh?” Titah Seung Ho, tersenyum. 

Sekuat apapun otaknya memerintahkan agar jangan menangis. Dan sebesar apapun ia harus meyakinkan dirinya untuk tenang. Nyata Jiyeon tetap menyimpan kekhawatiran. Ia seperti berada di tengah - tengah antara dimensi yang berbeda. Tak lama tangan Seung Ho dengan lembut menyisihkan rambutnya yang sangat berantakkan. Membenarkan poni gadis itu dan menyibakkan seluruh rambut gadis itu kebelakang dengan pelan. Setelahnya, kecupan hangat kembali mendarat di pucuk kepala gadis itu. Jiyeon menutup matanya. Dan merasa ketenangan yang luar biasa ketika saat itu terjadi. Tangan yang sedari tadi meremas erat bagian dada sweater Seung Ho pun melemah. Kedua tangannya dengan cepat menarik pergelangan pinggang pria itu untuk mendekat padanya. “I love you, My Painkiller. I love you so much.” Ujar Jiyeon, getir. “Ya, aku tahu.” Jawab pria itu, tertawa pelan. 

*** 

Keduanya menghabiskan waktu seharian penuh dengan saling bercanda tawa. Hari semakin gelap namun kedua orang itu terus tertawa, bercanda, dan bercerita. Sudah lama rasanya kebersamaan itu hilang. Bahkan Jiyeon tidak mengingat kapan terakhir kali mereka berkencan. Jiyeon terus memandangi Seung Ho dari samping. Pria itu tertawa, menampakkan giginya yang rapih dan bersih. Dalam dekapannya, Jiyeon merasa sangat nyaman. Berada duduk disampingnya, Jiyeon merasa terlindungi. 

“Sampai kapan kau akan memandangiku seperti itu?” 

Tiba - tiba Jiyeon tersipu. Entah sudah semerah apa pipinya. Ternyata pria itu menyadari bahwa ia sedang memandangnya intens. 

“A-A-Aku.. Tidak..” 

Chu~ 

Tanpa permisi pria itu mendaratkan ciuman saat wajahnya sedang mendongak. Tentu Jiyeon terkejut. 

“Yah! Kau!” 

Chu~ Chu~ Chu~ 

Tiga kali berturut - turut Seung Ho kembali mendaratkan ciuman dan membuat wajah Jiyeon semakin merah padam. 

“Yah! Yoo Seung Ho!” 
“Apa? Haha.” 

Pria itu berlari untuk menghindar. Jiyeon sepertinya sangat marah. Gadis itu memasang wajah menyeramkan. Seperti seekor singa yang sedang memangsa. Seung Ho pun berlari dan bersembunyi di balik kamar mandi. Dengar keras gadis itu menggedor - gedor pintu. Meminta kekasihnya untuk menyerahkan diri. 

“Cepat buka pintunya! Yoo Seung Ho!” 
“Tidak. Aku tidak akan membukakan pintunya. Asal kau berjanji tidak akan membalasku.” 

Suara rajukan terdengar menggelikan. Seorang pria merajuk karena kekasihnya sangat menyeramkan saat itu. 

“Tentu. Tentu saja aku akan membalasmu. Dengan kasar!” 
“Benarkah?” 

Tiba - tiba Seung Ho muncul dari balik pintu. Ia menatap Jiyeon dengan senyum simpul. Pria itu mengartikan ucapan Jiyeon berkalimat ambigu. Melihat respon yang begitu kekanak - kanakan, membuat Jiyeon yang sedang marah hampir saja tertawa. Ya, jelas tertawa. Bagaimana bisa pria itu bersikap layaknya anak kecil. 

“Ayo!” 
“Kyaaaaaaaaaaaa!” 

Seung Ho dengan tiba - tiba menggendong Jiyeon ke dalam kamar mandi dan membuat gadis itu ketakutan. 

“Yah ! Yoo Seung Ho. Apa - apan kau?” 

Senyum simpul lagi - lagi memancar. Hal itu sungguh menakuti Jiyeon. 

“Sudah malam. Saatnya sikat gigi.” Ujarnya bijak. 

Akhirnya Jiyeon bisa bernafas lega. Ia berpikir Seung Ho akan melakukan hal yang bukan - bukan. Mengingat mereka akan segera menikah. Seung Ho pun menurunkan gadisnya didepan kaca. Dan mulai menyikati gigi rata Jiyeon. 

10 menit kemudian.. 

Sepasang kekasih tidur diatas ranjang dan dibawah selimut yang sama. Malam yang begitu indah, dihiasi oleh senyum diantara mereka. Menggambarkan betapa bahagianya kedua sejoli itu. Seung Ho dan Jiyeon saling bertatapan dengan jarak yang tak begitu jauh. Memiringkan tubuh mereka agar bisa saling memandang. Tidak ada kata yang terucap. Mereka hanya terus saling memandang dan tersenyum. Tangan mereka saling menggenggam. Erat. Terlebih gadis itu, ia begitu erat menggenggam tangan Seung Ho. Bagaimanapun ia masih khawatir dengan kemungkinan yang ada. Mimpi yang membawanya ke dimensi lain saat itu. 

“Jangan pergi.. Tetaplah bersamaku..” Ujar Jiyeon, lemah. 

Hanya anggukan serta senyum yang bisa mewakili jawaban itu. Seung Ho terus menatapnya intens untuk meyakinkan Jiyeon. 

“Tidurlah.. Jangan khawatir.” Titah Seung Ho sambil mengusap pipi gadis itu dengan tangannya yang lain. 

*** 

Fajar mulai menyapa. Siluet keemasan menampakkan wujudnya dicelah - celah jendela kamar apartemen tersebut. Seorang gadis tersenyum dalam lelapnya. 

“Aku mencintaimu, Jiyeon-ah..” 

Tak berselang lama, gadis tersebut terbangun. Tubuhnya masih tak bergeming. Bola matanya hanya tiba - tiba terbuka lalu menatap lurus kedepan. 

“Seung Ho-yah..” Gumam Jiyeon, terduduk. 

Ia mendapati Seung Ho tak ada disebelahnya. Rasa sakit tiba - tiba saja menerkam begitu kuat. Hingga sakit itu membuatnya tersesak lagi. Jiyeon menangis. Ia kembali merasakan sesuatu yang ganjal. Jiyeon pun meraih ponsel yang ada di dekatnya mencoba menghubungi seseorang. Ya, Seung Ho. Ia berusaha memerintahkan otaknya untuk berpikir bahwa kekasihnya hanya pergi sesaat. 

“Nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi.” 

 Jelas pernyataan operator itu membuat Jiyeon histeris. Lagi dan lagi ia seperti kerasukan. 

“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaargh!” Pekiknya. 

Air mata tidak dapat terhitung berapa banyak yang keluar dari bola matanya. Jiyeon menangis dan segera mencari keberadaan Seung Ho diseluruh sudut tempat itu. 

“Seung Ho-yah!! Yoo Seung Ho!!” Panggil Jiyeon berulang kali. 

Kamar mandi dan dapur tidak dapat menampakkan wujud Seung Ho. Untuk kesekian kalinya Jiyeon terpukul. Apa yang ia alami sebenarnya. Mengapa rasa sakit itu muncul kembali disaat Seung Ho tidak ada. 

“Ya Tuhan. Apa yang terjadi padaku?” 

Gadis itu berjalan gontai menuju sofa. Dilihatnya benda yang sama sekali tidak ingin disentuhnya. Ia meringkuh diatas sofa vintage tersebut. Kedua kakinya naik dan dipeluknya begitu erat. Tatapannya kosong pada kotak itu. Nyatanya dimensi itu. Dimensi yang tidak ingin diingatnya, kembali menyisakan rasa sakit. Bahkan lebih sakit dari yang dibayangkan. 

“Hiks.. Hiks..” 

Keraguan itu dicoba Jiyeon untuk ditepis akal sehatnya. Ia meraih kotak itu dan membuka penutupnya. Air mata tak mungkin lagi terbendung mengingat betapa sakitnya ia sekarang. Benda yang masih sama, yang pernah ia temukan di dimensi lain saat itu. Jam vintage, obat, dan secarik kertas. 

“Hiks.. Hiks..” 

Jiyeon kembali terisak hingga dadanya begitu sesak. Yang pertama kali ingin ia lihat adalah kertas disana. Ia ingin memastikan isi dari kertas tersebut. Betapa terkesiap dirinya. Isinya masih sama dengan yang ia baca sebelumnya. 

“Seung Ho-yah, wae? (Mengapa)” Gumam Jiyeon memilukan. 

Ia berusaha memutar otaknya, mengingat apa yang sebenarnya ia lewati. Apa mungkin ada yang salah. Jiyeon pun meraih jam. Ia memandang lirih jarum jam yang terus berputar. Semakin dipandang, jam itu semakin membuat Jiyeon merasakan sakit di dadanya. Otaknya pun seperti tertimpa benda keras. Membuatnya meringis dan teringat akan suatu hal yang memang pernah ia lewati.. 

-Flashback- 

Sebuah mobil melaju dengan kecepatan diatas rata - rata. Malam yang semakin lengang membuat si pengendara seperti orang tidak waras. Ia merasakan kekecewaan yang dalam pada gadis yang duduk disebelahnya. Gadis itu terlihat menggenggam erat safety beltnya. Air mata mengucur terus menerus tanpa ampun. 

“Kau keterlaluan Jiyeon-ah!!! Aku tidak mengerti apa yang kau pikirkan sebenarnya! Lihatlah.. Kau menghancurkan segalanya.” 
“Tidak Seung Ho-yah.. Aku tidak seperti itu. Mengapa kau meperlakukanku seperti ini? Kau mempermalukanku di depan pegawaimu.” 
“Itu karena kau bodoh!” Bentak pria disana. 

Kesal, itulah yang tergambar dari raut wajahnya. Seung Ho merutuki kebodohan Jiyeon. 

“Yah! Aku hanya ingin kita pergi mencoba gaun pengantin. Apa itu salah?” 

Jiyeon menangis sejadi - jadinya. Pertengkaran yang hebat tidak biasanya terjadi diantara mereka. Tapi kali ini benar - benar kacau. Di hari sebelum pernikahan mereka, pertengkaran terjadi begitu saja. Seung Ho yang merasa di rugikan atas sikap kekanak - kanakan Jiyeon sungguh tidak bisa memaafkannya. Gadis itu sudah menghancurkan bisnis miliknya. Semua investor kecewa karena sikap Jiyeon saat pertemuan tadi. 

“Kau bodoh Jiyeon-ah!! Bodoh!! Sekarang karirku hampir hancur karena dirimu!” Bentak Seung Ho sambil memukul keras stir mobil. 
“Teruskanlah!! Caci aku sepuas yang kau inginkan. Mengapa kau sama sekali tidak mempedulikan perasaanku.” Pekik Jiyeon tak kalah kerasnya. 
“Ya. Kau bodoh! Kau memang gadis bodoh.” 
“Ya. Aku memang bodoh. Kau puas?” 

Mereka saling mencaci. Suasana menjadi sangat panas hingga keduanya tidak menyadari ada sebuah jalan rusak didepan sana. Akibat telat menyadari semua itu, Seung Ho membanting stir hingga terhempas pada sebuah truk yang berjalan dari arah berlawanan. 

Tiiiiiiiiiiiiiiiiiiittttttttttt~ 

Suara klakson bergemuruh. Kecelakan mobil telah terjadi dan menghancurkan bagian depan mobil tersebut. 

-Flashback End- 

“A-A-A.. Hiks.. Hiks..” 

Luapan emosi. Kesakitan yang mendalam semakin mancabik - cabik sebagian hatinya. Jiyeon meringkuh, membaringkan tubuhnya dan menahan rasa sesak didadanya. Sakit. Begitu sakit. Bahkan tidak dapat di terka lagi bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang disayangi namun tak pernah ia sadari selama ini. Jiyeon telah kehilangan Seung Ho. Sebulan yang lalu, tepat kecelakaan itu terjadi. Sakit yang tak tertahankan membuat ia berani meneguk sebagian obat penghilang rasa sakit yang ada dimejanya. 

“Ya Tuhan.. Aku sungguh tidah sanggup. Mengapa semua ini terjadi padaku? Aku bahkan tidak sempat meminta maaf padanya.” 

Jiyeon menepuk - nepuk dadanya yang begitu perih. Entah apa yang dapat ia lakukan, saat tidak ada lagi 'Painkiller' disisinya. 

“Seung Ho-yah.. Maafkan aku.. Hiks.. Hiks..” 

Betapa menyedihkan gadis itu. Ia marah, mengapa saat kecelakaan itu dirinya tidak mati bersama kekasihnya tersebut. Hal itu lebih baik, jika ia harus hidup seperti sekarang ini. Jiyeon membenci semuanya. Semua yang ada pada dirinya. Takdirnya. Dan kenyataan yang menyakitkan perasaannya. 

“Kumohon cabut nyawaku, Tuhan. Biarkan aku berada dalam dimensi yang sama dengannya. Izinkan aku memeluknya. Izinkan aku meminta maaf padanya.” Pinta Jiyeon, lirih. 

Isak tangis dan deru nafas tak beraturan terdengar beriringan. Hampir setiap detik gadis itu menangis. Wajahnya semakin terlihat kacau. Ia meminta seperti orang tidak waras. 

“Aku lelah.. Aku ingin istirahat dengan tenang. I miss you, My Painkiller.” Gumamnya. 

Jiyeon menutup matanya perlahan. Mendekap erat surat didadanya. Membiarkan air mengalir dari sudut bola matanya. Akhirnya ia tahu. Sesuatu yang dilewatinya. Semua sudah berakhir dengan menyisakan luka. Luka yang sangat mendalam. 

----------------------------------------------------------------------------------------------


-The End- 

Jangan lupa ya read, like, comment. Mungkin bagi yang udah baca, sedikit kebingungan deh sama jalan ceritanya. Kkkk. Sama sih sebenenya mah. Sekarang authornya mau nanya, imajinasi yang bisa kalian tangkep seperti apa? Sama engga sih sama authornya. hehehe. Di jawab ya ^^ 

Thanks before~ Maaf kalo ceritanya sedikit ngaco. Namanya juga cerita ilusi :))

0 Comment:

Posting Komentar

Total Penayangan

My Instagram

Instagram